Kamis, 02 Februari 2017

Asuhan Keperawatan untuk DHF

Askep DHF - Asuhan Keperawatan DHF


A. Pengertian

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (Ngastiyah, 1995 ; 341).

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000; 419).


B. Klasifikasi

DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi ;

  1. Derajat I : Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet (+), trombositopenia, dan hemakonsentrasi
  2. Derajat II : Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain
  3. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari ( tanda-tanda dini renjatan )
  4. Derajat IV : Renjatan berat ( DSS ) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.


C. Etiologi

1. Virus Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavovirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.

2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000;420).


D. Tanda dan Gejala

1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya.

2. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji torniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura. Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis (Nelson, 1993 ; 296).
Perdarahan gastrointestinal biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat (Ngastiyah, 1995 ; 349).

3. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita.

4. Renjatan (Syok).
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk.


E. Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi.


F. Pemeriksaan Penunjang

  1. Darah ; Leukopenia terjadi pada hari ke 2 atau 3, karena berkuarangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali. Trombositopenia dan hemokonsentrasi. Uji tourniquet positif merupakan pemeriksaan yang penting. Masa pembekuan normal tapi masa perdarahan memanjang.
  2. Urine ; Mungkin ditemukan albuminuria ringan
  3. Sumsum tulang ; Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi
  4. Serologi ; Dengan mengukur titer antibodi dengan cara haemaglutination inhibition test ( HI Test ) atau dengan uji pengikatan komplemen untuk mengetahui tipe virus yang mungkin timbul kembali dari 4 serotipe yang ada.


G. Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes Aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :

1. Lingkungan.
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk, pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat pengembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia.

2. Biologis.
Pengendalian biologis dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan cupang).

3. Kimiawi.
Pengendalian kimiawi antara lain :
  • Pengasapan/fogging berguna untyk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
  • Memberikan bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

H. Komplikasi
  1. DHF mengakibatkan perdarahan pada semua organ tubuh seperti; perdarahan ginjal, otak, jantung, patu-paru, limfa dan hati karena pembuluh darah mudah rusak dan bocor. Sehingga tubuh kehabisan darah dan cairan, serta menyebabkan kematian.
  2. Enselopati
  3. Gangguan kesadaran dan disertai kejang
  4. Disorientasi

I. Penatalaksanaan

Setiap penderita tersangka DHF sebaiknya dirawat ditempat terpisah dengan penderita lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk, dan penatalaksanaan DHF tanpa penyulit adalah ;
  1. Tirah baring
  2. Makanan lunak ; Bila belum ada nafsu makan dianjurkan minum banyak 1,5 – 2 liter dalam 24 jam.
  3. Medikamentosa yang bersifat simptomatis ; Antipiretik, kompres dingin
  4. Antibiotika diberikan bila terdapat kekhawatiran infeksi sekunder
  5. Terapi cairan intra vena
  6. Transfusi



Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan DHF

A. Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, komunikasi dan data tentang pasien. Pengkajian ini didapat dari dua tipe yaitu data subyektif dan persepsi tentang masalah kesehatan mereka dan data obyektif yaitu pengamatan/pengukuran yang dibuat oleh pengumpulan data.

Berdasarkan klasifikasi NANDA (Herdman, 2010), fokus pengkajian yang harus dikaji tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus:

1. Aktivitas/ Istirahat

  • Gejala: keterbatasan aktivitas sehubungan dengan kondisi sebelumnya, pekerjaan dimana pasien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi.

2. Sirkulasi

  • Tanda: peningkatan TD, HR, nadi, kulit hangat dan kemerahan.

3. Eliminasi

  • Gejala: riwayat ISK, obstruksi sebelumnya, penurunan volume urin, rasa terbakar.
  • Tanda: oliguria, hematuria, piouria, perubahan pola berkemih.

4. Pencernaan

  • Tanda: mual-mual, muntah.



B. Diagnosa Keperawatan

Diagnose keperawatan menurut NANDA (Herdman, 2010):

  1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
  2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit
  3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksi.
  4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
  5. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah baring.
  6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
  7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.



C. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan menurut NIC dan NOC (Judith, 2009) :

1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia) Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat berkurang/ teratasi.

Kriteria hasil: Pasien mengatakan kondisi tubuhnya nyaman, Suhu 36,80C-37,50C, Tekanan darah 120/80 mmHg, Respirasi 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt.

Intervensi:

  • Kaji saat timbulnya demam, rasionalnya untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
  • Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam, rasionalnya tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
  • Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam), rasionalnya peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
  • Berikan kompres hangat, rasionalnya dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
  • Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal, rasionalnya pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh
  • Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter, rasionalnya pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi

2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dan menghilang.

Kriteria hasil: Pasien mengatakan nyerinya hilang, nyeri berada pada skala 0-3, tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 36,80C-37,50C, respirasi 16-24 x/mnt, nadi 60-100 x/mnt (Judith, 2009).

Intervensi:

  • Observasi tingkat nyeri pasien (skala, frekuensi, durasi), rasional mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/resolusi komplikasi
  • Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman dan tindakan kenyamanan, rasionalnya lingkungan yang nyaman akan membantu proses relaksasi.
  • Berikan aktifitas hiburan yang tepat, rasional memfokuskan kembali perhatian; meningkatkan kemampuan untuk menanggulangi nyeri.
  • Libatkan keluarga dalam asuhan keperawatan, rasional keluarga akan membantu proses penyembuhan dengan melatih pasien relaksasi.
  • Ajarkan pasien teknik relaksasi, rasionalnya relaksasi akan memindahkan rasa nyeri ke hal lain.
  • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik, rasionalnya memberikan penurunan nyeri.


3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi.

Kriteria hasil: Mencerna jumlah kalori dan nutrisi yang tepat, menunjukkan tingkat energi biasanya, berat badan stabil atau bertambah (Judith, 2009).

Intervensi :

  • Observasi keadaan umam pasien dan keluhan pasien, rasional mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh pasien.
  • Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien, rasional mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik
  • Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi, rasionalnya mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya)
  • Identifikasi makanan yang disukai atau dikehendaki yang sesuai dengan program diit, rasionalnya jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam pencernaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang
  • Ajarkan pasien dan libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi, rasionalnya meningkatkan rasa keterlibatannya; Memberikan informasi kepada keluarga untuk memahami nutrisi pasien
  • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti mual, rasionalnya pemberian obat antimual dapat mengurangi rasa mual sehingga kebutuhan nutrisi pasien tercukupi.


4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi

Kriteria hasil: TD 120/80 mmHg, RR 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt, Turgor kulit baik, Haluaran urin tepat secara individu, Kadar elektrolit dalam batas normal (Judith, 2009).

Intervensi:

  • Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tanda vital, rasionalnya hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardi
  • Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul, rasionalnya pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi
  • Kaji suhu warna kulit dan kelembabannya, rasionalnya merupakan indicator dari dehidrasi.
  • Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa, rasionalnya demam dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan dehidrasi.
  • Pantau masukan dan pengeluaran cairan, rasionalnya memberi perkiraan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan program pengobatan.
  • Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung, rasionalnya mempertahankan volume sirkulasi.
  • Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung, rasionalnya kekurangan cairan dan elektrolit menimbulkan muntah sehingga kekurangan cairan dan elektrolit.
  • Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur, rasionalnya pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan beban cairan
  • Berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium(Ht, BUN, Na, K), rasionalnya mempercepat proses penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan cairan


5. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah baring.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat mencapai kemampuan aktivitas yang optimal.

Kriteria hasil: Pergerakan pasien bertambah luas, Pasien dpt melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri, berjalan), Rasa nyeri berkurang, Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan (Judith, 2009).

Intervensi:

  • Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien, rasionalnya mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
  • Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas, rasionlanya pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan
  • Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan, rasionalnya melatih otot – otot kaki sehingga berfungsi dengan baik
  • Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya, rasionalnya agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dokter (pemberian analgesic), rasionalnya analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri.


6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi syok hipovolemik.

Kriteria hasil : TD 120/80 mmHg, RR 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt, Turgor kulit baik, Haluaran urin tepat secara individu, Kadar elektrolit dalam batas normal (Judith, 2009).

Intervensi:

  • Monitor keadaan umum pasien, rasionalna memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.
  • Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam, rasionalnya tanda-tanda vital normal menandakan keadaan umum baik
  • Monitor tanda perdarahan, rasionalnya perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
  • Cek haemoglobin, hematokrit, trombosit, rasionalnya untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
  • Berikan transfusi sesuai program dokter, rasionalnya untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.
  • Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik, rasionalnya untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.


7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi perdarahan.

Kriteria hasil: Tekanan darah 120/80 mmHg, Trombosit 150.000-400.000 (Judith, 2009).

Intervensi:

  • Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis, rasionalnya penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
  • Anjurkan pasien untuk banyak istirahat, rasionalnya aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan
  • Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut, rasionalnya membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin
  • Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya, rasionalnya memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.

Selasa, 08 Desember 2015

Asuhan Keperawatan untuk Anemia


Askep Anemia

1. Pengertian

Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges,1999).

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah Hb dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah. (Ngastiyah.1997).

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).

Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).


2. Etiologi

Penyebab anemia antara lain:
  • Perdarahan
  • Kekurangan gizi seperti: zat besi, vitamin B12, dan asam folat. (Barbara C. Long, 1996 )
  • Penyakit kronik, seperti gagal ginjal, abses paru, bronkiektasis, empiema, dll.
  • Kelainan darah
  • Ketidaksanggupan sum-sum tulang membentuk sel-sel darah. (Arif Mansjoer, 2001)

Penyebab umum dari anemia
  • Perdarahan hebat
  • Akut (mendadak)
  • Kecelakaan
  • Pembedahan
  • Persalinan
  • Pecah pembuluh darah
  • Penyakit Kronik (menahun)
  • Perdarahan hidung
  • Wasir (hemoroid)
  • Ulkus peptikum
  • Kanker atau polip di saluran pencernaan
  • Tumor ginjal atau kandung kemih
  • Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
  • Berkurangnya pembentukan sel darah merah
  • Kekurangan zat besi
  • Kekurangan vitamin B12
  • Kekurangan asam folat
  • Kekurangan vitamin C
  • Penyakit kronik
  • Meningkatnya penghancuran sel darah merah
  • Pembesaran limpa
  • Kerusakan mekanik pada sel darah merah
  • Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
  • Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
  • Sferositosis herediter
  • Elliptositosis herediter
  • Kekurangan G6PD
  • Penyakit sel sabit
  • Penyakit hemoglobin C
  • Penyakit hemoglobin S-C
  • Penyakit hemoglobin E
  • Thalasemia (Burton, 1990).


3. Klasifikasi

Secara patofisiologi anemia terdiri dari:
  1. Penurunan produksi: anemia defisiensi, anemia aplastik.
  2. Peningkatan penghancuran: anemia karena perdarahan, anemia hemolitik.

Secara umum anemia dikelompokan menjadi:
  1. Anemia mikrositik hipokrom
    • Anemia defisiensi besi
      Untuk membuat sel darah merah diperlukan zat besi (Fe). Kebutuhan Fe sekitar 20 mg/hari, dan hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 mg, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis), inipun tidak akan menyebabkan anemia bila tidak disertai malnutrisi. Anemia jenis ini dapat pula disebabkan karena:
      • Diet yang tidak mencukupi
      • Absorpsi yang menurun
      • Kebutuhan yang meningkat pada wanita hamil dan menyusui
      • Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah
      • Hemoglobinuria
      • Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.
    • Anemia penyakit kronik
      Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with reticuloendothelial siderosis. Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi seperti infeksi ginjal, paru (abses, empiema, dll).
  2. Anemia makrositik
    • Anemia Pernisiosa Anemia yang terjadi karena kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik karena gangguan absorsi yang merupakan penyakit herediter autoimun maupun faktor ekstrinsik karena kekurangan asupan vitamin B12.
    • Anemia defisiensi asam folat. Anemia ini umumnya berhubungan dengan malnutrisi, namun penurunan absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh saluran cerna. Asam folat terdapat dalam daging, susu, dan daun–daun yang hijau.
  3. Anemia karena perdarahan
    • Perdarahan akut. Mungkin timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.
    • Perdarahan kronik. Pengeluaran darah biasanya sedikit–sedikit sehingga tidak diketahui pasien. Penyebab yang sering antara lain ulkus peptikum, menometroragi, perdarahan saluran cerna, dan epistaksis.
  4. Anemia hemolitik
    Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah ( normal 120 hari ), baik sementara atau terus menerus. Anemia ini disebabkan karena kelainan membran, kelainan glikolisis, kelainan enzim, ganguan sistem imun, infeksi, hipersplenisme, dan luka bakar. Biasanya pasien ikterus dan splenomegali.
  5. Anemia aplastik
    Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah. Penyebabnya bisa kongenital, idiopatik, kemoterapi, radioterapi, toksin, dll.

4. Patofisiologi 

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).


5. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala umum yang sering dijumpai pada pasien anemia antara lain: pucat, lemah, cepat lelah, keringat dingin, takikardi, hypotensi, palpitasi. (Barbara C. Long, 1996). Takipnea (saat latihan fisik), perubahan kulit dan mukosa (pada anemia defisiensi Fe). Anorexia, diare, ikterik sering dijumpai pada pasien anemia pernisiosa (Arif Mansjoer, 2001)


6. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium ditemui:
  • Jumlah Hb lebih rendah dari normal ( 12–14 g/dl )
  • Kadar Ht menurun ( normal 37% – 41% )
  • Peningkatan bilirubin total ( pada anemia hemolitik )
  • Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
  • Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak ( pada anemia aplastik).

7. Komplikasi

Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak (Sjaifoellah, 1998).


Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Anemia


A. Pengkajian

1. Aktifitas / Istirahat
  • Keletihan, kelemahan, malaise umum.
  • Kehilangan produktifitas, penurunan semangat untuk bekerja
  • Toleransi terhadap latihan rendah.
  • Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
2. Sirkulasi
  • Riwayat kehilangan darah kronis,
  • Riwayat endokarditis infektif kronis.
  • Palpitasi.
3. Integritas ego
  • Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan pengobatan, misalnya: penolakan tranfusi darah.
4. Eliminasi
  • Riwayat pielonenepritis, gagal ginjal.
  • Flatulen, sindrom malabsobsi.
  • Hematemesi, melana.
  • Diare atau konstipasi
5. Makanan / cairan
  • Nafsu makan menurun
  • Mual/ muntah
  •  Berat badan menurun
6. Nyeri / kenyamanan
  • Lokasi nyeri terutama di daerah abdomen dan kepala.
7. Pernapasan
  • Napas pendek pada saat istirahat maupun aktifitas
8. Seksualitas
  • Perubahan menstuasi misalnya menoragia, amenore
  • Menurunnya fungsi seksual
  • Impotent


Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen / nutrisi ke sel.

Ditandai dengan:
  • Palpitasi,
  • Kulit pucat, membrane mukosa kering, kuku dan rambut rapuh,
  • Ekstremitas dingin
  • Perubahan tekanan darah, pengisian kapiler lambat
  • Ketidakmampuan berkonsentrasi, disorientasi

Tujuan: menunjukkan perfusi jaringan yang adekuat

Intervensi :
  • Kaji tanda-tanda vital, warna kulit, membrane mukosa, dasar kuku
  • Beri posisi semi fowler
  • Kaji nyeri dan adanya palpitasi
  • Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh pasien
  • Hindari penggunaan penghangat atau air panas

Kolaborasi:
  • Monitor pemeriksaan laboratorium misal Hb/Ht dan jumlah SDM
  • Berikan SDM darah lengkap /pocket
  • Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi


2. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen

Ditandai dengan:
  • Kelemahan dan kelelahan
  • Mengeluh penurunan aktifitas /latihan
  • Lebih banyak memerlukan istirahat /tidur
  • Palpitasi, takikardi, peningkatan tekanan darah,

Tujuan: terjadi peningkatan toleransi aktifitas.

Intervensi :
  • Kaji kemampuan aktifitas pasien
  • Kaji tanda-tanda vital saat melakukan aktifitas
  • Bantu kebutuhan aktifitas pasien jika diperlukan
  • Anjurkan kepada pasien untuk menghentikan aktifitas jika terjadi palpitasi
  • Gunakan tehnik penghematan energi misalnya mandi dengan duduk.


3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna, absorbsi makanan

Ditandai dengan:
  • Penurunan berat badan normal
  • Penurunan turgor kulit, perubahan mukosa mulut.
  • Nafsu makan menurun, mual
  • Kehilangan tonus otot

Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi yang dikuti dengan peningkatan berat badan.


Intervensi :
  • Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai
  • Observasi dan catat masukan makanan pasien
  • Timbang berat badan tiap hari
  • Berikan makanan sedikit dan frekuensi yang sering
  • Observasi mual, muntah , flatus dan gejala lain yang berhubungan
  • Bantu dan berikan hygiene mulut yang baik

Kolaborasi:
  • Konsul pada ahli gizi
  • Berikan obat sesuai dengan indikasi misalnya: vitamin dan mineral suplemen. 3. Berikan suplemen nutrisi

4. Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan jumlah makanan, perubahan proses pencernaan , efek samping penggunaan obat

Ditandai dengan :
  • Adanya perubahan pada frekuensi, karakteristik, dan jumlah feses
  • Mual, muntah, penurunan nafsu makan
  • Nyeri abdomen
  • Ganguan peristaltic

Tujuan: pola eliminasi normal sesuai dengan fungsinya

Intervensi :
  • Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
  • Kaji bunyi usus
  • Beri cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung
  • Hindari makan yang berbentuk gas
  • Kaji kondisi kulit perianal

Kolaborasi
  • Konsul ahli gizi untuk pemberian diit seimbang
  • Beri laksatif
  • Beri obat anti diare


5. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan pertahanan skunder yang tidak adekuat.

Ditandai dengan tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda dan gejala- gejala yang membuat diagnosa actual

Tujuan: terjadi penurunan resiko infeksi

Intervensi :
  • Tingkatkan cuci tangan dengan baik
  • Pertahankan tehnik aseptik ketat pada setiap tindakan
  • Bantu perawatan kulit perianal dan oral dengan cermat
  • Batasi pengunjung

Kolaborasi
  • Ambil spesemen untuk kultur
  • Berikan antiseptic topikak, antibiotic sistemik.

Kamis, 05 November 2015

Asuhan Keperawatan untuk Diabetes Mellitus

Askep Diabetes Mellitus - Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus

1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Noer, 2003).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes mellitus adalah penyakit yang sering dijumpai sebagai akibat dari defisiensi insulin atau penurunan efektivitas insulin (Brooker, 2001).

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

Diabetes mellitus adalah penyakit dimana penderita tidak bisa mengontrol kadar gula dalam tubuhnya. Tubuh akan selalu kekurangan ataupun kelebihan gula sehingga mengganggu system kerja tubuh secara keseluruhan (FKUI, 2001).


2. Klasifikasi
  • Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1) : Kekerapan DM Tipe 1 di negara barat + 10% dari DM Tipe 2. Di negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanyatimbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
  • Diabates Melitus Tipe 2 (DM Tipe 2) : DM Tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada dekade ketujuh kekerapan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa.
  • Diabetes Melitus Tipe Lain : Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM.
  • Diabetes Melitus Gestasional : Diabetes Melitus Gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar.

3. Etiologi


  • Virus dan Bakteri : Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
  • Bahan Toksik atau Beracun : Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari singkong.
  • Genetik atau Faktor Keturunan : Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diawariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM (diabetisi) memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.


4. Tanda dan Gejala


1. Diabetes Tipe I
  • hiperglikemia berpuasa
  • glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
  • keletihan dan kelemahan
  • ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
  • lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
  • gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
  • komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)


5. Patofisiologi

Dalam proses metabolisme,insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel. Insulin adalah suatu zat yang dikeluarkan oleh sel beta di Pankreas.

1) Pankreas
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta. Sel beta mngeluarkan hormon insulin untuk mengatur kadar glukosa darah. Selain sel beta ada juga srl alfa yang memproduksi glukagon yang bekerja sebaliknya dengan insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Juga ada sel delta yang mngeluarkan somastostatin.

2) Kerja Insulin
Insulin diibaratkan sebagai anak kunci untuk membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel, glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga.

3) Patofisiologi DM Tipe 1
Mengapa insulin pada DM Tipe 1 tidak ada? Ini disebabkan oleh karena pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan karena adanya peradangan pada sel beta insulitis. Ini menyebabkan timbulnya anti bodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta.

4) Patofisiologi DM Tipe 2
Pada DM Tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor inulin ini diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam darah akan meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM Tipe 1. Perbedaanya adalah DM Tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi,juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.

Faktor-faktor yang banyak berperan sebagai penyebab resistensi insulin:
  • Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
  • Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
  • Kurang gerak badan
  • Faktor keturunan (herediter)

6. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan dengan adanya gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, lemas,dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria,serta pruritus dan vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukannya pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang baru satu kali saja abnormal belum cukup untuk diagnosis klinis DM.

Kalau hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk konfirmasi diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa pernah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM, baik pada 2 pemeriksaan yang berbeda ataupun adanya 2 hasil abnormal pada saat pemeriksaan yang sama.

Cara pemeriksaan TTGO
  • Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa
  • Kegiatan jasmani cukup, tidak terlalu banyak
  • Puasa semalam, selama 10-12 jam
  • Glukosa darah puasa diperiksa
  • Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama / dalam waktu 5 menit
  • Diperiksa glukosa darah 1 (satu) jam dan 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
  • Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak.

7. Penatalaksanaan

Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin:
  • Sulfonilurea
  • Glinid
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin:
  • Biguanid
  • Tiazolidindion
  • Penghambat glukosidase alfa

Insulin

Pencegahan komplikasi
  • Berhenti merokok
  • Mengoptimalkan kadar kolesterol
  • Menjaga berat tubuh yang stabil
  • Mengontrol tekanan darah tinggi
  • Olahraga teratur dapat bermanfaat : Mengendalikan kadar glukosa darah, Menurunkan kelebihan berat badan (mencegah kegemukan), Membantu mengurangi stres, Memperkuat otot dan jantung, Meningkatkan kadar kolesterol ‘baik’ (HDL), Membantu menurunkan tekanan darah.


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Mellitus

Pengkajian
  1. Riwayat Kesehatan Keluarga. Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
  2. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya.
  3. Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
  4. Aktivitas/ Istirahat : Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
  5. Sirkulasi : Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
  6. Integritas Ego : Stress, ansietas
  7. Eliminasi : Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
  8. Makanan / Cairan : Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
  9. Neurosensori : Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
  10. Nyeri / Kenyamanan : Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
  11. Pernapasan : Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
  12. Keamanan : Kulit kering, gatal, ulkus kulit.


Masalah Keperawatan
  1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
  2. Kekurangan volume cairan
  3. Gangguan integritas kulit
  4. Resiko terjadi injury


Intervensi

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
  • Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
  • Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
  • Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
  • Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
  • Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
  • Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
  • Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
  • Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
  • Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
  • Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
  • Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
  • Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
  • Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
  • Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
  • Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
  • Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
  • Pantau masukan dan pengeluaran
  • Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
  • Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
  • Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
  • Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
  • Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :

  • Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
  • Kaji tanda vital
  • Kaji adanya nyeri
  • Lakukan perawatan luka
  • Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
  • Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury

Intervensi :
  • Hindarkan lantai yang licin.
  • Gunakan bed yang rendah.
  • Orientasikan klien dengan ruangan.
  • Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
  • Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.

Jumat, 19 Desember 2014

Asuhan Keperawatan untuk Hipertensi

Askep Hipertensi

Pengertian

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHG (Luckman Sorensen,1996).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolic 90 mmHg ataulebih. (Barbara Hearrison 1997)

Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).


Etiologi

a. Usia
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan kematian premature.

b. Jenis Kelamin
berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.

c. Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit putih.

d. Pola Hidup
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama. Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.


Klasifikasi

Berdasarkan penyebab, hipertensi di bagi dalam 2 golongan :

a. Hipertensi primer / essensial
Merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui, biasanya berhubungan dengan faktor keturunan dan lingkungan

b. Hipertensi sekunder
Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti, seperti gangguan pembuluh darah dan penyakit ginjal.


Klasifikasi hipertensi berdasarkan The Joint National Commite on Detection Evaluation and Treatmen of High Blood Pressure, adalah sebagai berikut :
Kategori Sistolik Diastolik
a. Normal tinggi (perbatasan) 130 – 139 85 – 89
b. Stadium 1, ringan 140 – 159 90 – 99
c. Stadium 2, sedang 160 – 179 100 – 109
d. Stadium 3, berat 180 – 209 110 – 119
e. Stadium 4, sangat berat 210 > 120 >


Manifestasi Klinis

a. Sakit kepala dan pusing
b. Nyeri kepala berputar
c. Rasa berat di tengkuk
d. Marah / emosi tidak stabil
e. Mata berkunang – kunang
f. Telinga berdengung
g. Sukar tidur h. Kesemutan
i. Kesulitan bicara
j. Rasa mual / muntah
k. Epistaksis
l. Migren
m. Mudah lelah
n. Tinistus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan darah


Patofisiologi

Meningkatnya tekanan darah di dalam saluran arteri bisa terjadi melalui beberapa cara, yaitu : jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya, arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut, karena-nya darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yan terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis.

Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.

Bertambahnya cairan dalam sirkuilasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah, hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh, volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanand arah juga meningkat, sebaliknya jia : aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun.

Penyesuaian terhadap faktor – faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari system saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis).

Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara : jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali normal. Jika tekanan darah menururn, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut rennin, yang memicu pembentukan hormone angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena iti berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Perdangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari system saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan : meningkatkan tekanan darah selama respon fight – or – flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung; jugta mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak). Mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh. Melepaskan hormone epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah.


Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Non Farmakologis
  • DietPembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
  • Aktivitas
  • Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan denganbatasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,bersepeda atau berenang.
Penatalaksanaan Farmakologis
  • Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
  • Mempunyai efektivitas yang tinggi.
  • Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
  • Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
  • Tidak menimbulakn intoleransi.
  • Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
  • Memungkinkan penggunaan jangka panjang.



Asuhan Keperawatan untuk Hipertensi

Pengkajian

1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.

2. Sirkulasi
Gejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
Tanda :Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisiankapiler mungkin lambat/ bertunda.

3. Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.

4. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayatpenyakit ginjal pada masa yang lalu).
Makanan/cairan
Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic
Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.

5. Neurosensori
Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontansetelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,epistakis).
Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.

6. Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakitkepala.

7. Pernafasan
Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyinafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.

8. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.


Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan iskemia miokard
Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung
Rencana Tindakan :
a) Pantau tekanan darah, ukur pada kedua tangan / paha untuk evaluasi awal
b) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
c) Amati warna kulit, kelembaban suhu dan masa pengisian
d) Catat edema umum / tertentu
e) Berikan lingkungan yang tenang, kurangi aktivitas / keributan lingkungan
f) Anjurkan tehnik relaksasi, aktivitas pengalihan
g) Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan : Intoleransi aktivitas teratasi

Rencana tindakan :
a) Kaji skala aktivitas
b) Perhatikan frekuensi nadi, dispnea, nyeri dada, keletihan dan kelemahan berlebihan diaforesis, pusing atau pingsan.
c) Instruksikan pasien tentang penghematan energi d) Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas / perawatan diri bertahap
e) Berikan bantuan sesuai kebutuhan

3. Nyeri kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral
Tujuan : Nyeri berkurang sampai hilang

Rencana tindakan :
a) kaji skala nyeri b) Kaji penyebab nyeri, catat penyebab, kualitas, regional dan waktu
c) Observasi tanda – tanda vital terutama tekanan darah
d) Berikan tindakan nonfarmakologik, misalnya : kompres dingin, pijat punggung dan tehnik relaksasi. e) Hilangkan / minimalkan aktivitas vasokokstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala.
f) Bantu pasien dalam aktivitas
g) Kolaborasi dengan dokter dalam mpemberian anagetik

4. Perubahan nutrisi kebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan sehubungan dengan kebutuhan metabolic.

Tujuan : Tidak terjadi peningkatan masukan berlebihan Rencana tindakan :
a) Kaji pemahaman pasien tentang hubungan langsung antara hipertensi dengan kegemukan
b) Bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi
c) Tetapkan keinginan pasien menurunkan berat badan
d) Dorong pasien untuk mempertahankan masukan makanan
e) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian makanan


5. Koping individu inefektif berhubungan dengan krisis situasional maturasional
Tujuan : Koping individu kembali efektif

Rencana tindakan :
a) kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku. Misalnya menyatakan perasaan dan perhatian b) catat laporan gangguan tidur, peningkatan, keletihan, kerusakan konsentrasi
c) Bantu pasien untuk mengidentifikasikan stressor spesifik dan cara mengatasinya
d) Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan, beri dorongan partisipasi maksi
mum dalam pengobatan
e) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup yang perlu

6. Kurang pengetahuan kebutuhan pembelajaran mengenai kondisi, rencana pengobatan
Tujuan : Pengetahuan meningkat

Rencana Tindakan :
a) Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar
b) Tetapkan dan nyatakan batas tekanan darah normal, jelaskan tentang hipertensi dan efeknya pada jantung, pembuluh darah, ginjal dan otak c) Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor – faktor resiko kardiovaskuler. Misalnya : obesitas, diet lemak, kolesterol, merokok dan minum alkohol
d) Bahas pentingnya menghentikan rokok, dan bantu pasien dalam rencana untuk berhenti merokok
e) Jelaskan tentang obat yang diresepkan, rasional, dosis, efek samping.
D. Kesimpulan Secara umum hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisme, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak – anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah dari pada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat akan melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari akan berbeda paling tinggi pada waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari.

Kamis, 19 September 2013

Asuhan Keperawatan untuk BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

Askep BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).


2. Etiologi 

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1.         Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2.         Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3.         Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4.         Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5.         Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).

3. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital
  1. Uretra

    Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.
    Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.

    Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.

    Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.

    Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan meatus uretra eksterna.

    Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
  2. Kelenjar Postat

    Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.

    Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)

    Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke vena iliaka interna.

    Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari volume ejakulat.

    Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit uretra sehingga mengganggu perkemihan.

4. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)


5. Manifestasi Klinik

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
  1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

    Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

    Gejala iritatif meliputi:
    • (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
    • (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
    • (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
    • (disuria).nyeri pada saat miksi

    Gejala obstruktif meliputi:
    • rasa tidak lampias sehabis miksi.
    • (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
    • (straining) harus mengejan
    • (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
  2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

    Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

  3. Gejala di luar saluran kemih

    Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
  4. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

    Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4) derajat gradiasi sebagai berikut : 
    Derajat
    Colok Dubur
    Sisa Volume Urine
    I
    II
    III
    IV
    Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba.
    Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah dicapai.
    Batas atas prostat tidak dapat diraba
    < 50 ml
    50 – 100 ml
    > 100 ml
    Retensi urine total
    Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:

    1. Hemorogi

    1. Hematuri
    2. Peningkatan nadi
    3. Tekanan darah menurun
    4. Gelisah
    5. Kulit lembab
    6. Temperatur dingin

    2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat

    3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
    1. bingung
    2. agitasi
    3. kulit lembab
    4. anoreksia
    5. mual
    6. muntah


6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).


7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa
  • Mengharnbat adrenoreseptor α
  • Obat anti androgen
  • Penghambat enzim α -2 reduktase
  • Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)


8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)


A. Pengkajian
  1. Data subyektif :
    • Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
    • Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
    • Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
    • Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
  2. Data Obyektif :
    • Terdapat luka insisi
    • Takikardi
    • Gelisah
    • Tekanan darah meningkat
    • Ekspresi w ajah ketakutan
    • Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
  2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
  3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi
  1. Diagnosa Keperawatan 1. :
    Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

    Tujuan :
    Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.

    Kriteria hasil :
    • Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
    • Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

    Intervensi :
    • Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
    • Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
    • Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
    • Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
    • Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
    • Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
    • Lakukan perawatan aseptik terapeutik
    • Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

  2. Diagnosa Keperawatan 2. :
    Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

    Tujuan :
    Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

    Kriteria hasil :
    • Klien akan melakukan perubahan perilaku.
    • Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
    • Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan.

    Intervensi :
    • Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.
    • Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
    • Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
    • Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
    • Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

  3. Diagnosa Keperawatan 3. :
    Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

    Tujuan :
    Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

    Kriteria hasil :
    • Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
    • Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
    • Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

    Intervensi :
    • Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
    • Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
    • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
    • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (analgesik).



    Daftar Pustaka

    Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

    Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

    Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

    Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

    Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Search